Ragam Pesona Gunung Padang
Gunung Padang, punden berundak dengan beragam pesonanya
mengantarkan langkah kami—Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—untuk menikmati
pemandangan batu penuh sejarah. Lokasi yang lumayan jauh dari Ibukota Jakarta
tak menyurutkan niat kami untuk tetap mengadu nasib selama kurang lebih 6 jam
perjalanan. Tak lain, hal itu kami lakukan demi menyaksikan cagar budaya
Indonesia yang acap kali disebut masyarakat setempat sebagai Situs Megalith.
Langkah kaki terhenti di salah satu penginapan di kawasan
Cipanas, Jawa Barat. Perjalanan ke Gunung Padang bermula kala pagi buta.
Mengendarai mobil selama kurang lebih 1,5 jam. Lewat kaca mobil, pengunjung disuguhkan
sajian sawah penduduk yang terbentang luas.
Memasuki persimpangan kota Warungkondang, 20 km mobil yang kami
kendarai harus melewati jalur yang berkelok-kelok. Kala itu, sedang ada
perluasan jalan. Kini jalur yang ditawarkan sudah tak lagi terjal dan bisa
dilewati persimpangan dua mobil. Terasiring dan sengkedan yang kiranya menjadi
pemandangan langka bagi masyarakat ibukota pula kian nyata. Deretan rumah
penduduk dengan bangunan klasik modern turut memperindah pemandangan.
Di tengah perjalanan, ada rel kereta yang menghubungkan
jalur Cianjur-Sukabumi. Konon, terowongan di stasiun ini menjadi terowongan
tertua di Indonesia. Memiliki panjang 686 meter, terowongan dibangun oleh Staats
Spoorwegen, sebuah perusahaan kereta api pada masa Hindia-Belanda pada 1879-1882.
Sesampainya di Situs Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat, kami memasuki gapura kecil. Undakan di depan gapura dan rumah-rumahan
dari kayu beratap daun kelapa menyambut kedatangan kami. Cukup murah untuk
berwisata di tempat ini. Tarif yang dipatok hanya 5 ribu rupiah saja untuk
menikmati sajian bentang alam mengagumkan.
Memasuki gapura, mata kami tertuju pada dua undakan, tegak
dan landai. Demi memicu adrenalin, kami memilih menaiki undakan tinggi dan
tegak yang ada di sebelah kiri. Ada tips dari Arkeolog Balai Arkeolog Jawa
Barat Lutfi Yondri. Jika menaiki undakan menuju Situs Gunung Padang, usahakan
hanya ujung jari kaki saja yang berjejak. Gunanya untuk memperkecil tekanan, dan
menghindari lelah saat menaiki anak tangga yang terbuat dari batu sepanjang 175
m tersebut.
Napas tersengal-sengal tak kami hiraukan. Lelah terbayar
saat menginjakkan kaki di Situs Gunung Padang. Terbentang luas batu besar
dengan ukuran yang seragam. Ciri khas lain yang ditonjolkan dari cagar budaya
ini ialah batu yang ditancapkan ke tanah. Sudah terbayang sesulit apa
menancapkan batu ke tanah dan bisa bertahan ribuan bahkan berabad-abad lamanya?
Jejak Awal Gunung Padang
Ada filosofi unik dari misteri ditemukannya Gunung Padang.
Menurut Juru Pelihara Gunung Padang Nanang Sukmana, Gunung Padang ditemukan
oleh Kakek Nanang. Kala itu, Nanang tengah berumur 7 tahun. Sebagai petani, membuka
lahan menjadi hal yang biasa. Tak terkecuali di Situs Gunung Padang. Penemuan
berupa bongkahan batu besar yang didapat saat mencangkul sawah pun mengguncang
pembicaraan masyarakat setempat.
Secara ilmiah, Gunung ini sejatinya sudah diteliti sejak munculnya
laporan Rapporten van de Oudheid-kundigen Dienst (ROD) tahun 1994. NJ Krom,
Peneliti Belanda yang ingin mencari emas waktu itu melaporkan temuan besar
tersebut pada tahun 1949. Sejak ditemukannya gunung padang oleh petani yang
sedang membuka lahan, tahun 1979 penduduk melaporkan keberaaan situs tersebut
kepada pemerintah. Hingga, pada 1998 pemerintah menetapkan situs ini sebagai
cagar budaya melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Kendati demikian, perhatian masyarakat baru muncul setelah
adanya penelitian Tim Katastropik Purba tahun 2011 dan disusul Tim Terpadu
Riset Mandiri sejak 2012. Kehidupan masyarakat yang biasanya bertani kini mulai
beralih fungsi menjadi berdagang ataupun berbisnis di situs Gunung Padang.
Pada 2014 lalu, Situs Gunung Padang diakui sebagai Cagar
Budaya Nasional. Pengakuan tersebut ditegaskan melalui Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 023/M/2014. Pelestarian tentang cagar budaya
ini juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya.
Tempat
Pemujaan
Terdiri dari lima teras.
Gunung Padang acap kali diyakini sebagai tempat pemujaan leluhur yang
berhubungan erat dengan ritual Prabu Siliwangi. Di teras pertama, ditemui batu yang unik. Batu
tersebut menancap di akar pohon besar yang sering dijadikan tempat
peristirahatan pengunjung.
Menaiki teras dua, konon masyarakat menyebutnya
sebagai mahkota dunia. Antara teras satu dan dua dihubungkan
dengan lima pagar. Namun,
kini
tangga tidak boleh lagi
dinaiki pengunjung. Rentan rusaknya cagar budaya menjadi alasan utama.
Konon, kata mahkota dunia ini diambil dari nama Hyang
Kuta Dunia—leluhur yang
berdiam diri di Gunung Padang. Seiring berjalannya waktu, nama yang didengungkan
dari mulut ke mulut kian berubah. Kini, disebut sebagai mahkota dunia. Bentang
alam yang indah menjadi alasan utama. Dari atas teras dua dapat dilihat
pemandangan Gunung Gede dan Pangrango. Terasiring dan sengkedan pula turut
menjadi pemandangan kelas atas di Situs Gunung Padang ini.
Teras empat dan lima menjadi bagian paling sakral.
Pasalnya, masyarakat sekitar meyakini tempat ini digunakan sebagai tempat
peribadatan Prabu Siliwangi dalam memuja Tuhan Yang Esa. Di teras empat ada Singgasana
Prabu Siliwangi yang terbuat dari batu.
Menurut keterangan Nanang, singgasana mengeluarkan aura yang luar biasa.
Jika siang hawa benar-benar panas. Sebaliknya, jika malam hawa benat-benar
dingin. Ia pun mengakui, kala malam tiba ada beberapa masyarakat yang
bermediasi di lokasi tersebut dengan berharap mendapatkan berkah dari Yang Maha
Esa dengan perantara Prabu Siliwangi.
Terakhir ada Batu Pandaringan. Disitu ada tiga batu
yang disebut sebagai cerminan ayah—sebagai keturunan Adam, ibu—sebagai
keturunan Hawa--dan Yang Maha Esa. Melalui batu bersejarah ini, masyarakat
diajarkan untuk menghormati ayah dan ibu untuk memperoleh ridho Yang Maha Esa. Di tengah ada
batu terbesar di situs Gunung Padang yang biasa disebut Menhir. Batu tersebut kini sudah disandarkan
ke tanah karena termakan usia dan pelapukan alam. Awalnya, batu tersebut
berdiri dan digunakan sebagai simbol Yang Maha Esa.
Sebelum menduduki singgasana, Prabu Siliwangi selalu
bermunajah pada ayah dan ibu. Karena rida Allah bergantung pada rida bapak dan
ibu. "Dalam Islam sering disebut ‘ridho
Allah fi ridho al-walidain," terang Nanang saat ditemui di Teras lima Situs
Gunung Padang, Minggu (4/11).
Situs Megalith Gunung Padang, Benarkah?
Gunung padang yang kini kian diminati sebagai destinasi
wisata pengunjung tersusun dari batu berundak yang ukurannya lumayan besar
namun seragam. Batunya berbentuk segi lima. Banyak masyarakat menganggapnya
sebagai batu megalitikum. Bahkan, situs ini pun dinamakan Situs Megalith Gunung
Padang.
Di sisi lain, Badan Arkeologi Lutfi Yondri membantah tentang
situs ini yang santer dinamakan megalith. Menurutnya, batu megalitikum hanya
dibuat oleh Rumpun Ras Austronesia yang hidup pada Zaman Megalitikum. “Sedangkan
masyarakat yang membangun situs gunung padang ada pada zaman Paleolitikum, sekitar abad 117 SM - 45 SM,” ucap Lutfi, Sabtu
(3/10).
Siti Heni Rohamna
Mahasiswi Pendidikan Kimia
UIN Jakarta, aktif dalam Lembaga Pers Mahasiswa UIN Jakarta, telah dikukuhkan
sebagai Duta Damai Dunia Maya Provinsi Banten dan Juru Bicara Pancasila Wilayah
Jabodetabek, tergabung dalam Komunitas Bela Indonesia Nasional
Komentar
Posting Komentar